Selasa, 26 Februari 2013

Renungan Sebelum Berusia 27 tahun




Beberapa waktu terakhir ini, kerap kali merefleksikan hidup. Terkadang muncul lagi pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang, baik yang terlalu positif mengenai pilihan hidup jauh dari hiruk pikuk popularitas ataupun yang meragukan mengenai pilihan ini. Entah mana yang benar, itu harus dijawab seumur hidup.

Terkadang muncul sebersit jawaban, jangan-jangan memang benar jauh-jauh ke kota (yang mungkin banyak orang tidak tahu kalau ada nama kota ini di Indonesia) hanya untuk materi. Tetapi hal itu juga tersanggah pada gaya hidup yang bisa dibilang minimalis. Seingat saya, kalau masalah pakaian yang tiap hari atau bulan mungkin orang bisa beli, mungkin terakhir saya membeli dua lembar pakaian, itupun mengingat kondisi saya yang sedang hamil sehingga tidak memungkinkan pakai yang lama. Atau masalah telpon seluler saya yang seharga 500ribu sekitar 1 tahun 3 bulan yang lalu dan saya pun tidak mau beralih pada gadget lain yang lebih canggih, nettbook saya yang rusak beberapa bulan lalu pun masih tergolek dan saya pun tidak berencana membeli yang baru. Untuk apa di kantor sudah ada komputer dan di rumah juga ada laptop.

Mungkin kesannya saya pelit pada diri saya sendiri padahal dari segi penghasilan tidak sedikit-sedikit amat. Mungkin pengeluaran saya lebih banyak untuk makanan, semacam mengikuti pepatah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, selain untuk kebutuhan nutrisi yang jadi kebutuhan mendesak janin di dalam kandungan. Tetapi bukan berarti hanya habis untuk itu saja, ada pos untuk tabungan dan asuransi, untuk jaga-jaga kalau-kalau kena sakit berat, tabungan bisa lenyap dalam sekejap.
Mengingat tokoh polisi keren yang tidak korupsi (mungkin satu-satunya) di negara kita yaitu Alhm.Bapak Hoegeng yang baru bisa beli rumah setelah pensiun, yah kadang berpikir kalau kita kerja lurus-lurus mungkin untuk membeli properti yang harganya selangit memang tidak mudah. Walau kita bisa saja membeli dengan cara mencicil tetapi sekali lagi di kota nun jauh dari rinai kenyamanan seperti di kota-kota besar di Jawa misalnya, sampai sekarang saya belum dapat info tentang kredit rumah.

Terkadang memang mellow melihat kehebatan teman-teman dengan jabatan a, b, c, d atau yang memiliki kemewahan a, b, c, d atau yang mempunyai gelar a, b, c, d. Itu semua terasa jauh dari pemikiran. Bukan berarti tidak bisa, tetapi ada prioritas lain yang lebih mendesak, keluarga dan panggilan (jiah bahasa roh halus).

Kemarin saya membaca artikel mengenai Sal Khan yang menjadi idola seorang Bil Gates. Dia memilih menjadi pembuat materi pembelajaran melalui internet secara cuma-cuma dengan alasan dia sudah bahagia dengan rumah, 2 mobil, dan keluarganya. Bagi saya, di tengah dunia yang begitu menuntut akan keberhasilan yang dihitung dengan materi, hal itu sangat luar biasa, yah meski dia masih membutuhkan rumah dan mobil.

Tentu saja saya jauh sekali dibandingkan (bisa jadi tidak dapat dibandingkan) dengan Sal Khan. Saya masih sering kali meragukan pilihan saya namun saya teringat saya hanya manusia biasa yang terbiasa dengan kenyamanan. Saya yang terbiasa dengan keluarga saya yang begitu menyayangi saya, hangatnya mentari, mudahnya mengakses tempat-tempat hiburan seperti mall, bioskop dan rumah makan, orang-orang yang tidak terlalu peduli bila saya melakukan a, b, c, d yang (seakan-akan) menghargai pilihan saya.

Tantangan di sini memang tidak mudah, cuaca di awal tahun seperti ini yang dingin karena hujan angin sehingga membuat kita lebih nyaman di rumah, pilihan rumah makan yang terbatas dan dengan harga yang relatif lebih mahal, keterbatasan tempat rekreasi, orang-orang yang karena mungkin hidupnya tidak senyaman di tempat kami dulu sehingga terkadang harus diberikan energi ekstra untuk membuat kami sama-sama nyaman, dan orang-orang yang terkadang terlalu peduli sehingga yah begitulah. Bukan berarti di sini sama sekali tidak nyaman, saya mendapatkan keluarga baru yang bahkan bisa jadi lebih hangat dan keluarga kecil kami yang baru kami bangun menjadi obat di setiap kekurangnyamanan.

Di tengah segala kekurangnyamanan yang sudah 2 tahun lebih saya alami, saya mulai melihat banyak hal yang menarik. Bisa jadi, puskesmas pembantu di belakang rumah kami di Jogja secara bangunan fisik lebih baik dari puskesmas kota ini. Fasilitas kesehatan yang minim serta tenaga kesehatan yang tidak mendapatkan penghasilan yang sesuai, kurangnya persaingan dan pengalaman membuat begitu banyak masalah ketidakpuasan mengenai kesehatan di kota ini. Berhubung latar belakang saya kesehatan, tentu saja saya lebih bisa berbicara banyak mengenai itu.

Belum lagi masalah kurang gizi yang terus melanda kabupaten ini, yang mungkin di tempat lain sudah beranjak ke masalah gizi lebih. Bukan berarti itu karena budaya yang kurang baik justru budaya yang terlalu baik, budaya yang sering berbagi. Hal yang sudah ditinggalkan di rinai kota besar sana. Dari acara pernikahan, kematian, sekolah yang dibuat semacam acara makan-makan untuk mengumpulkan uang sampai mereka lupa bahwa mereka juga butuh menyisihkan uang di masa-masa berat seperti awal tahun yang dari segi pertanian dan perkebunan tidak menghasilkan.

Kadang, saya sendiri merasa letih dengan ketidakmampuan saya untuk berbuat sesuatu, meskipun saya bekerja di yayasan sosial tetap saja saya hanya lah manusia biasa yang juga punya ketakutan jika saya terlalu vokal, orang-orang dengan kedekatan emosional cukup tinggi ternyata punya kerentanan untuk tersakiti, sehingga saya harus menjaga diri. Itulah mengapa saya memilih untuk tidak banyak berbicara namun bekerja meski itu juga menuai kontra. Ah hidup memang harus ada pro kontra. Namun ditengah terjangan segala keraguan terutama dari diri saya sendiri dalam menjalani hidup yang tidak lagi senyaman dulu, saya hanya berharap meskipun semua orang meragukan saya ada Sesuatu yang lebih besar dari kita yang tidak pernah meragukan saya. Seakan mengelus kepala saya dan berkata, ”SahabatKu, kamu akan baik-baik saja.” Sebab keraguan saya dan mungkin juga orang lain, bagi Dia adalah salib kecil yang harus dipikul sebelum saya naik kelas.