Beberapa waktu terakhir ini, kerap kali merefleksikan hidup. Terkadang
muncul lagi pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang, baik yang terlalu positif
mengenai pilihan hidup jauh dari hiruk pikuk popularitas ataupun yang
meragukan mengenai pilihan ini. Entah mana yang benar, itu harus dijawab
seumur hidup.
Terkadang muncul sebersit jawaban, jangan-jangan memang benar jauh-jauh ke
kota (yang mungkin banyak orang tidak tahu kalau ada nama kota ini di Indonesia) hanya untuk materi. Tetapi hal itu juga tersanggah pada gaya hidup yang bisa
dibilang minimalis. Seingat saya, kalau masalah pakaian yang tiap hari atau
bulan mungkin orang bisa beli, mungkin terakhir saya membeli dua lembar
pakaian, itupun mengingat kondisi saya yang sedang hamil sehingga tidak memungkinkan
pakai yang lama. Atau masalah telpon seluler saya yang seharga 500ribu sekitar
1 tahun 3 bulan yang lalu dan saya pun tidak mau beralih pada gadget lain yang
lebih canggih, nettbook saya yang rusak beberapa bulan lalu pun masih tergolek
dan saya pun tidak berencana membeli yang baru. Untuk apa di kantor sudah ada
komputer dan di rumah juga ada laptop.
Mungkin kesannya saya pelit pada diri saya sendiri padahal dari segi
penghasilan tidak sedikit-sedikit amat. Mungkin pengeluaran saya lebih banyak
untuk makanan, semacam mengikuti pepatah di dalam tubuh yang sehat terdapat
jiwa yang sehat, selain untuk kebutuhan nutrisi yang jadi kebutuhan mendesak
janin di dalam kandungan. Tetapi bukan berarti hanya habis untuk itu saja, ada
pos untuk tabungan dan asuransi, untuk jaga-jaga kalau-kalau kena sakit berat,
tabungan bisa lenyap dalam sekejap.
Mengingat tokoh polisi keren yang tidak korupsi
(mungkin satu-satunya) di negara kita yaitu Alhm.Bapak Hoegeng yang baru bisa
beli rumah setelah pensiun, yah kadang berpikir kalau kita kerja lurus-lurus
mungkin untuk membeli properti yang harganya selangit memang tidak mudah. Walau
kita bisa saja membeli dengan cara mencicil tetapi sekali lagi di kota nun jauh
dari rinai kenyamanan seperti di kota-kota besar di Jawa misalnya, sampai
sekarang saya belum dapat info tentang kredit rumah.
Terkadang memang mellow melihat kehebatan teman-teman dengan jabatan a, b,
c, d atau yang memiliki kemewahan a, b, c, d atau yang mempunyai gelar a, b, c,
d. Itu semua terasa jauh dari pemikiran. Bukan berarti tidak bisa, tetapi ada
prioritas lain yang lebih mendesak, keluarga dan panggilan (jiah bahasa roh
halus).
Kemarin saya membaca artikel mengenai Sal Khan yang menjadi idola seorang
Bil Gates. Dia memilih menjadi pembuat materi pembelajaran melalui internet
secara cuma-cuma dengan alasan dia sudah bahagia dengan rumah, 2 mobil, dan
keluarganya. Bagi saya, di tengah dunia yang begitu menuntut akan keberhasilan
yang dihitung dengan materi, hal itu sangat luar biasa, yah meski dia masih
membutuhkan rumah dan mobil.
Tentu saja saya jauh sekali dibandingkan (bisa jadi tidak dapat
dibandingkan) dengan Sal Khan. Saya masih sering kali meragukan pilihan saya
namun saya teringat saya hanya manusia biasa yang terbiasa dengan kenyamanan.
Saya yang terbiasa dengan keluarga saya yang begitu menyayangi saya, hangatnya
mentari, mudahnya mengakses tempat-tempat hiburan seperti mall, bioskop dan
rumah makan, orang-orang yang tidak terlalu peduli bila saya melakukan a, b, c,
d yang (seakan-akan) menghargai pilihan saya.
Tantangan di sini memang tidak mudah, cuaca di awal tahun seperti ini yang
dingin karena hujan angin sehingga membuat kita lebih nyaman di rumah, pilihan
rumah makan yang terbatas dan dengan harga yang relatif lebih mahal,
keterbatasan tempat rekreasi, orang-orang yang karena mungkin hidupnya tidak
senyaman di tempat kami dulu sehingga terkadang harus diberikan energi ekstra
untuk membuat kami sama-sama nyaman, dan orang-orang yang terkadang terlalu
peduli sehingga yah begitulah. Bukan berarti di sini sama sekali tidak nyaman,
saya mendapatkan keluarga baru yang bahkan bisa jadi lebih hangat dan keluarga
kecil kami yang baru kami bangun menjadi obat di setiap kekurangnyamanan.
Di tengah segala kekurangnyamanan yang sudah 2 tahun lebih saya alami, saya
mulai melihat banyak hal yang menarik. Bisa jadi, puskesmas pembantu di
belakang rumah kami di Jogja secara bangunan fisik lebih baik dari puskesmas
kota ini. Fasilitas kesehatan yang minim serta tenaga kesehatan yang tidak
mendapatkan penghasilan yang sesuai, kurangnya persaingan dan pengalaman
membuat begitu banyak masalah ketidakpuasan mengenai kesehatan di kota ini.
Berhubung latar belakang saya kesehatan, tentu saja saya lebih bisa berbicara
banyak mengenai itu.
Belum lagi masalah kurang gizi yang terus melanda kabupaten ini, yang
mungkin di tempat lain sudah beranjak ke masalah gizi lebih. Bukan berarti itu
karena budaya yang kurang baik justru budaya yang terlalu baik, budaya yang
sering berbagi. Hal yang sudah ditinggalkan di rinai kota besar sana. Dari
acara pernikahan, kematian, sekolah yang dibuat semacam acara makan-makan untuk
mengumpulkan uang sampai mereka lupa bahwa mereka juga butuh menyisihkan uang
di masa-masa berat seperti awal tahun yang dari segi pertanian dan perkebunan
tidak menghasilkan.
Kadang, saya sendiri merasa letih dengan ketidakmampuan saya untuk berbuat
sesuatu, meskipun saya bekerja di yayasan sosial tetap saja saya hanya lah
manusia biasa yang juga punya ketakutan jika saya terlalu vokal, orang-orang
dengan kedekatan emosional cukup tinggi ternyata punya kerentanan untuk
tersakiti, sehingga saya harus menjaga diri. Itulah mengapa saya memilih untuk
tidak banyak berbicara namun bekerja meski itu juga menuai kontra. Ah hidup
memang harus ada pro kontra. Namun ditengah terjangan segala keraguan
terutama dari diri saya sendiri dalam menjalani hidup yang tidak lagi senyaman
dulu, saya hanya berharap meskipun semua orang meragukan saya ada Sesuatu
yang lebih besar dari kita yang tidak pernah meragukan saya. Seakan mengelus
kepala saya dan berkata, ”SahabatKu, kamu akan baik-baik saja.” Sebab
keraguan saya dan mungkin juga orang lain, bagi Dia adalah salib kecil yang
harus dipikul sebelum saya naik kelas.